Pinjer perin adalah dua kata yang paling banyak disebutkan beberapa bulan terakhir di tempat kerja saya, rata-rata paling sedikit dalam 1×24 jam seorang pegawai struktural menyebutkan kata pinjer perin sebanyak 131 kali (sumber: so nYAHOO.com) jadi kalau di akumulasi kira kira kata pinjer perin diucapkan sebanyak 23500 an kali oleh 180 pegawai dalam sehari. Padahal pertama pinjer perin ada di tempat kerja saya tepat 3 tahun lalu tapi kenapa baru 3 bulan terakhir ini para pegawai sering menyebutkan kata "pinjer perin"? Seolah kata pinjer perin itu keluar dari mulut queen syahrini dan disiarkan berulang-ulang oleh infotainment dari pagi hingga sore.
Menurut pakar manajemen pinjer perin asal UNCAL (universitas Calileupheunk) yaitu prov. namealus nami, S.Kece.,S.PPD. jika kata pinjer perin mendadak sering dibicarakan di tempat kerja, maka kata pinjer perin tersebut sangat berhubungan dengan value, value disini tentu saja lebih cenderung kepada variabel kompensasi, hal lain selain kompensasi seperti hayang kapileum atau hayang ngadangu sora "Terima Kasih" mungkin sangat kecil pengaruhnya sehingga bukan merupakan indikator yang kuat kenapa kata pinjer perin sering dibicarakan
Membahas kompensasi tetapi tidak membahas equity tentu seperti jalan-jalan ke Ambon tapi tidak membeli Bika Medan. Nah intinya setiap pegawai tidak akan dipotong kompensasinya (sebut saja tukin-bukan nama sebenarnya) bila record pinjer perin nya sesuai ketentuan perundang-undangan yang mengaturnya. Terdengar adil bukan? Yah setidaknya bagi saya ini adil dan hidup terasa indah, bagaimana tidak biasanya istri saya hanya menerima uang gaji (dengan potongan), uang makan (dengan potongan juga) setelah ada tukin (bukan nama sebenarnya) istri saya menerima uang yang lain lagi (tentu dengan potongan juga), setelah ada tukin istri saya tidak repot lagi bila anak bungsu kami mendadak pengen jalan-jalan ke London.
Saya pribadi berusaha mendapatkan hasil record pinjer perin yang baik, tentu saja itu akan bermuara pada pendapatan saya, dengan cara sampai ke tempat kerja tepat waktu walau jarak dari rumah ke tempat kerja relatif jauh, bila berangkat jam 6 pagi bisa ditempuh hanya dalam 1 jam atau kurang jadi kadang saya sampai kantor bisa jam 7 kurang, dan tidak jarang saya berpapasan dengan pegawai yang baru ngabsen tapi pulang lagi kerumahnya, dan baru ke tempat kerja lagi agak siang (disitu kadang saya merasa sedih). Tapi saya pikir itu rezeki mereka yang rumahnya berdekatan dengan tempat kerja.
Eeh tapi ternyata saya tidak sendiri geuningan banyak juga pegawai yang kadang terlambat atau yang tidak terlambat (tetapi untuk mendaptkan record pinjer perin nya di iringi darah dan air mata) mengetahui perilaku pegawai yang absen doang terus balik lagi kerumahnya, dan berpendapat ini sudah tidak bisa dikatakan adil lagi. Bahkan lebih ajaib lagi ada yang tidak masuk kerja tapi record pinjer perin nya mulus! semulus paha yoona snsd. Aslina !
Tidak akan ada asap kalau tidak ada tukang putu, beberapa pegawai mulai mempertanyakan apakah pembayaran tukin (yang masih bukan nama sebenernya) hanya berdasarkan pada record pinjer perin? ternyata ada hal lain yang harus dipenuhi pegawai yaitu Laporan Capaian Kinerja Harian (nama sebenarnya tapi tidak sesuai di akte). Tapi ternyatah si LCKH ini pun tidak memberikan kontribusi lebih untuk equity pembayaran kompensasi, bagaimana tidak pegawai yang tidak masuk kerja pun masih bisa mengisi LCKH dan mendapatkan tanda tangan dari atasan langsungnya! Saking ajaibnya dedi kobusyer pun sungkem bila bertemu pegawai macam ini.
Menurut pakar Hukum Dr.Iman Paris pan java,SH.,MH.,S.PPD. Diperaturan mantri yang membahas tentang jam kerja pegawai tesebut ada point yang luput diperhatikan yaitu tentang siapa yang berkewajiban melakukan pengawasan kepada tiap individu pegawai.
Dan kecemburuan sosial menyangkut kompensasi dan pinjer perin ini rupanya bukan karena tidak ketatnya regulasi yang dikeluarkan menurut saya regulasi ini bahkan lebih ketat dari celana saeful jamil sekalipun, akan tetapi karena kurangnya pengawasan. Untuk mengetahui siapa yang berkewajiban melakukan pengawasan kepada pegawai-pegawai ajaib yang bisa melakukan pinjering tetapi tidak ada ditempat mari kita tanyakan pada rumput yang bergoyang
Menurut pakar manajemen pinjer perin asal UNCAL (universitas Calileupheunk) yaitu prov. namealus nami, S.Kece.,S.PPD. jika kata pinjer perin mendadak sering dibicarakan di tempat kerja, maka kata pinjer perin tersebut sangat berhubungan dengan value, value disini tentu saja lebih cenderung kepada variabel kompensasi, hal lain selain kompensasi seperti hayang kapileum atau hayang ngadangu sora "Terima Kasih" mungkin sangat kecil pengaruhnya sehingga bukan merupakan indikator yang kuat kenapa kata pinjer perin sering dibicarakan
Membahas kompensasi tetapi tidak membahas equity tentu seperti jalan-jalan ke Ambon tapi tidak membeli Bika Medan. Nah intinya setiap pegawai tidak akan dipotong kompensasinya (sebut saja tukin-bukan nama sebenarnya) bila record pinjer perin nya sesuai ketentuan perundang-undangan yang mengaturnya. Terdengar adil bukan? Yah setidaknya bagi saya ini adil dan hidup terasa indah, bagaimana tidak biasanya istri saya hanya menerima uang gaji (dengan potongan), uang makan (dengan potongan juga) setelah ada tukin (bukan nama sebenarnya) istri saya menerima uang yang lain lagi (tentu dengan potongan juga), setelah ada tukin istri saya tidak repot lagi bila anak bungsu kami mendadak pengen jalan-jalan ke London.
Saya pribadi berusaha mendapatkan hasil record pinjer perin yang baik, tentu saja itu akan bermuara pada pendapatan saya, dengan cara sampai ke tempat kerja tepat waktu walau jarak dari rumah ke tempat kerja relatif jauh, bila berangkat jam 6 pagi bisa ditempuh hanya dalam 1 jam atau kurang jadi kadang saya sampai kantor bisa jam 7 kurang, dan tidak jarang saya berpapasan dengan pegawai yang baru ngabsen tapi pulang lagi kerumahnya, dan baru ke tempat kerja lagi agak siang (disitu kadang saya merasa sedih). Tapi saya pikir itu rezeki mereka yang rumahnya berdekatan dengan tempat kerja.
Eeh tapi ternyata saya tidak sendiri geuningan banyak juga pegawai yang kadang terlambat atau yang tidak terlambat (tetapi untuk mendaptkan record pinjer perin nya di iringi darah dan air mata) mengetahui perilaku pegawai yang absen doang terus balik lagi kerumahnya, dan berpendapat ini sudah tidak bisa dikatakan adil lagi. Bahkan lebih ajaib lagi ada yang tidak masuk kerja tapi record pinjer perin nya mulus! semulus paha yoona snsd. Aslina !
Tidak akan ada asap kalau tidak ada tukang putu, beberapa pegawai mulai mempertanyakan apakah pembayaran tukin (yang masih bukan nama sebenernya) hanya berdasarkan pada record pinjer perin? ternyata ada hal lain yang harus dipenuhi pegawai yaitu Laporan Capaian Kinerja Harian (nama sebenarnya tapi tidak sesuai di akte). Tapi ternyatah si LCKH ini pun tidak memberikan kontribusi lebih untuk equity pembayaran kompensasi, bagaimana tidak pegawai yang tidak masuk kerja pun masih bisa mengisi LCKH dan mendapatkan tanda tangan dari atasan langsungnya! Saking ajaibnya dedi kobusyer pun sungkem bila bertemu pegawai macam ini.
Menurut pakar Hukum Dr.Iman Paris pan java,SH.,MH.,S.PPD. Diperaturan mantri yang membahas tentang jam kerja pegawai tesebut ada point yang luput diperhatikan yaitu tentang siapa yang berkewajiban melakukan pengawasan kepada tiap individu pegawai.
Dan kecemburuan sosial menyangkut kompensasi dan pinjer perin ini rupanya bukan karena tidak ketatnya regulasi yang dikeluarkan menurut saya regulasi ini bahkan lebih ketat dari celana saeful jamil sekalipun, akan tetapi karena kurangnya pengawasan. Untuk mengetahui siapa yang berkewajiban melakukan pengawasan kepada pegawai-pegawai ajaib yang bisa melakukan pinjering tetapi tidak ada ditempat mari kita tanyakan pada rumput yang bergoyang