Rabu, 14 Juni 2017

Kakak Buraong ( Sebuah Cerita Ngacapruk )

"Baik saya akan pergi dari rumah ini" terdengar suara kakak membalas bentakan ayah, sambil membanting pintu rumah, kakak meninggalkan rumah. Apa penyebab ayah dan kakak seperti ini. waktu itu saya masih terlalu kecil untuk mengerti.
Tak berapa lama ayah mengejar keluar, saya dan ibu  merasa lega ketika ayah mengejar kakak. Terdengar bentakan ayah dari jalan " Maung! maneh tong poho solat"  (kamu jangan lupa sholat!). sejak saat itu saya tidak tahu dimana kakak.
Tiap kali sedang marah padaku ayah selalu berkata "jangan seperti si Maung kakakmu" atau "kakakmu itu anak pembangkang yang tidak mau mengakui kesalahan". Setiap mendengar perkataan ayah saya tahu, kakak sudah tidak punya tempat dirumah ini.
Walau bagaimanapun perkataan ayah tentang kakak, saat itu  saya tetap menggangap kakak adalah pahlawan keluarga ini, kakak yang selalu membantu masalah saya dan kak Dani.
Saya masih ingat ketika kak Dani mengeluh pada ibu tidak mau sekolah, karena setiap pulang sekolah diganggu oleh anak-anak pasar dimintai uang jajannya. Kak Maunglah yang mendatangi dan anak-anak pasar, mereka berkelahi, sampai akhirnya ayah dan orang tua mereka bertemu untuk menyelesaikan masalahnya.
Saya pernah bertanya ke ibu dimana kakak, setelah kakak pergi ternyata ibu pernah mengajak ayah menemui kakak, akan tetapi ayah dan kakak tetap saja tidak mau bicara, “watak mereka sama-sama keras” ujar ibu. Bahkan ketika kak Dani menikah pun kakak tidak datang.
Ibu pernah bilang, kalau selepas SMA kakak bekerja di pelayaran, bahkan motor astrea saya yang pernah ibu berikan sebenarnya hadiah dari kakak. Semakin aku ingin bertemu kakak.
Sampai pada suatu hari setelah hari raya Idul Adha. Kakak datang  dengan seorang wanita calon istrinya, kakak benar-benar datang menyalami ayah. Ibu terlihat bahagia,  ibu benar-benar tidak bisa menyembunyikan tangisnya. Benar kata ibu, dengan datang dan menyalami saja, ayah langsung luluh.

Kakak terlihat tidak seperti yang sudah pergi lama dari rumah, terihat biasa saja ketika  berbicara dengan kak dani dan istrinya, justru saya yang merasa kaku. Menjawab pertanyaan kakak saja saya malah terdiam. Saya menghitung dengan jari sambil bergumam, setelah tiga belas tahun kakak akhirnya ke rumah lagi.